Faidah Kedua Hadits Arba’in Nawawi

 

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ   وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ .   [رواه مسلم]

Kosa kata /مفردات :

طلع                 : Terbit / datang

 العراة (العاري)     : telanjang

أسند                : Menyandarkan

 رعاء (راعي)      : Penggembala

كفَّيه (كف)        : Kedua telapak 

                       Tangan

يتطاولون        : saling meninggikan

فخذيه (فخذ)       : Kedua pahanya

 انظلق         : Berangkat / Bertolak 

ركبتيه (ركبة)       : Kedua lututnya

أثر                  : Bekas

الحُفاة (الحافي)       : telanjang kaki

 أمارات (أمارة)    : tanda-tanda

 

Arti hadits / ترجمة الحديث :

 

Dari Umar rodhiyallohu’anhu juga, beliau berkata: Pada suatu hari ketika kami duduk di dekat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas dari perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, lalu mendempetkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya (Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam), kemudian berkata: ”Wahai Muhammad, jelaskan kepadaku tentang Islam.” Kemudian Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam menjawab: ”Islam yaitu: hendaklah engkau bersaksi tiada sesembahan yang benar disembah kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh. Hendaklah engkau mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Romadhon, dan mengerjakan haji ke baitullah jika engkau mampu mengerjakannya.” Orang itu berkata: ”Engkau benar.” Kami menjadi heran, karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya. Orang itu bertanya lagi: ”Lalu jelaskanlah kepadaku tentang iman”. (Rosululloh) menjawab: ”Hendaklah engkau beriman kepada Alloh, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir, dan hendaklah engkau beriman kepada takdir  yang baik dan yang buruk.”Orang tadi berkata: ”Engkau benar.” Lalu orang itu bertanya lagi: ”Lalu jelaskanlah kepadaku tentang ihsan.” (Beliau) menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.” Orang itu berkata lagi: ”Beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat.” (Beliau) mejawab: “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Orang itu selanjutnya berkata: ”Beritahukanlah kepadaku tanda-tandanya.” (Beliau) menjawab: ”Apabila budak wanita melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan.” Kemudian orang itu pergi, sedangkan aku tetap tinggal beberapa saat lamanya. Lalu Nabi shollallohu ’alaihi wasallam bersabda: ”Wahai Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu ?”. Aku menjawab: ”Alloh dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.” Lalu beliau bersabda: ”Dia itu adalah malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.”(HR. Muslim).

 

Kedudukan Hadits

  1. Materi hadits ke-2 ini sangat penting sehingga sebagian ulama menyebutnya sebagai “Induk sunnah”, karena seluruh sunnah berpulang kepada hadits ini.
  2. Hadits ini merupakan hadits yang sangat dalam maknanya, karena didalamnya terdapat pokok-pokok ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan .
  3. Hadits ini mengandung makna yang sangat agung karena berasal dari dua makhluk Allah yang terpercaya, yaitu: Amiinussamaa’ (kepercayaan makhluk di langit/Jibril) dan Amiinul Ardh (kepercayaan makhluk di bumi/ Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam)

 

Islam, Iman, dan Ihsan

Dienul Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Islam berbicara masalah lahir, iman berbicara masalah batin, dan ihsan mencakup keduanya.
Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam. Tidaklah ke-Islam-an dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman, karena konsekuensi dari syahadat mencakup lahir dan batin. Demikian juga iman tidak sah kecuali ada Islam (dalam batas yang minimal), karena iman adalah meliputi lahir dan batin.

Perhatian!
Para penuntut ilmu semestinya paham bahwa adakalanya bagian dari sebuah istilah agama adalah istilah itu sendiri, seperti contoh di atas.

Islam

Syahadatain

Syahadatain (dua kalimat syahadat) secara syar’i memiliki dua makna:

  1. Meyakini dalam hati (I’tiqod)
  2. Mengkabarkan ke orang lain (ikhbar)

Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salihin menjelaskan bahwa tingkatan syahadat ada empat:

  1. Mengilmuinya (ilmu & I’tiqod)
  2. Mengucapkan dengan lisan, meskipun dengan diri kita
  3. Mengabarkan kepada orang lain tentang apa yang kita yakini
  4. Melaksanakan konsekuensi dari syahadat

Para ulama telah bersepakat (ijma) bahwasanya jika ada orang yang menyembunyikan persaksian syahadat maka ia kafir jika tanpa udzur.

Dalam konteks rukun Islam, yang tidak boleh hilang adalah syahdatain dan shalat. Adapun jika tidak mampu zakat karena miskin atau tidak bisa berhaji karena tidak mampu maka masih disebut muslim. Jika ada orang yang mampu berpuasa, membayar zakat, dan berhaji  namun tidak menunaikannya dengan tidak mengingkari kewajiban rukun islam tersebut maka dia masih muslim meski telah melakukan dosa besar

 

Iman Bertambah dan Berkurang

Nabi menjelaskan iman dengan amalan-amalan hati, meskipun begitu iman tidak cukup hanya dengan keyakinan saja, harus dibuktikan dengan perbuatan. Iman bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Keimanan tidak sah jika salah satu rukun iman atau lebih hilang.

Ahlussunnah menetapkan kaidah bahwa jika istilah Islam dan Iman disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing memiliki pengertian sendiri-sendiri, namun jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup yang lainnya. Iman dikatakan dapat bertambah dan berkurang. Hal ini disebabkan karena adanya tujuan untuk membedakan antara Ahlussunnah dengan Murjiáh. Murjiáh mengakui bahwa Islam (amalan lahir) bisa bertambah dan berkurang, namun mereka tidak mengakui bisa bertambah dan berkurangnya iman (amalan batin). Sementara Ahlussunnah meyakini bahwa keduanya bisa bertambah dan berkurang.

Iman akan bertambah dengan bertambahnya ketaatan dan akan berkurang dengan kemaksiatan. Iman tidak hanya keyakinan hati, namun juga terdapat amalan di dalamnya.

 

Istilah Rukun Islam dan Rukun Iman

Istilah “Rukun” pada dasarnya merupakan hasil ijtihad para ulama untuk memudahkan memahami dien. Rukun berarti bagian sesuatu yang menjadi syarat terjadinya sesuatu tersebut, jika rukun tidak ada maka sesuatu tersebut tidak terjadi.Istilah rukun seperti ini bisa diterapkan untuk Rukun Iman, artinya jika salah satu dari Rukun Iman tidak ada, maka imanpun tidak ada. Adapun pada Rukun Islam maka istilah rukun ini tidak berlaku secara mutlak, artinya meskipun salah satu Rukun Islam tidak ada, masih memungkinkan Islam masih tetap ada.

Demikianlah semestinya kita memahami dien ini dengan istilah-istilah yang dibuat oleh para ulama, namun istilah-istilah tersebut tidak boleh dijadikan sebagai hakim karena tetap harus merujuk kepada ketentuan syariat agama, sehingga jika ada ketidaksesuaian antara istilah buatan ulama dengan ketentuan syariat maka ketentuan syariat lah yang dimenangkan.

 

Batasan Minimal Sahnya Keimanan

  1. Iman kepada Allah.

Iman kepada Allah sah jika beriman kepada Rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, dan asma’ dan sifat-Nya.

  1. Iman kepada Malaikat.

Iman kepada Malaikat sah jika beriman bahwa Allah menciptakan makhluk bernama malaikat sebagai hamba yang senantiasa taat dan diantara mereka ada yang diperintah dengan tugas-tugas tertentu seperti adanya malaikat yang ditugaskan untuk mengantar wahyu.

  1. Iman kepada Kitab-kitab.

Iman kepada kitab-kitab sah jika beriman bahwa Allah telah menurunkan kitab yang merupakan kalam-Nya kepada sebagian hambanya yang berkedudukan sebagai rasul. Diantara kitab Allah adalah Al-Qurán.

  1. Iman kepada Para Rasul.

Iman kepada para rasul sah jika beriman bahwa Allah mengutus kepada manusia sebagian hambanya yang mana para utusan Allah mereka mendapatkan wahyu untuk disampaikan kepada manusia, dan pengutusan rasul telah ditutup dengan diutusnya Muhammad shallallaahu álaihi wa sallam.

  1. Iman kepada Hari Akhir.

Iman kepada Hari Akhir sah jika beriman bahwa Allah membuat sebuah masa sebagai tempat untuk menghisab manusia, mereka dibangkitkan dari kubur dan dikembalikan kepada-Nya untuk mendapatkan balasan kebaikan atas kebaikannya dan balasan kejelekan atas kejelekannya, yang baik (mukmin) masuk surga dan yang buruk (kafir) masuk neraka. Ini terjadi di hari akhir tersebut.

  1. Iman kepada Takdir.

Iman kepada takdir sah jika beriman bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi, sedang terjadi, dan sudah terjadi. Allah telah mengilmui segala sesuatu sebelum terjadinya kemudian Dia menentukan dengan kehendaknya semua yang akan terjadi setelah itu, Allah menciptakan segala sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya.

Demikianlah syarat keimanan yang sah, sehingga dengan itu semua seorang berhak untuk dikatakan mukmin. Adapun selebihnya maka tingkat keimanan seseorang berbeda-beda sesuai dengan banyak dan sedikitnya kewajiban yang dia tunaikan terkait dengan hatinya, lisannya, dan anggota badannya.

Allah Ta’ala menulis segala sesuatu yang akan terjadi 50 ribu tahun sebelum langit dan bumi diciptakan. Allah Ta’ala memiliki kehendak, apa yang Allah kehendaki terjadi pasti terjadi dan yang tidak Allah kehendaki untuk terjadi tidak mungkin terjadi. Allah menciptakan makhluk dan semua perbuatan makhluk.

Takdir Buruk

Buruknya taqdir ditinjau dari sisi makhluk. Adapun ditinjau dari pencipta takdir yakni Allah Ta’ala, maka semuanya baik. Semua perbuatan Allah adalah baik dan sempurna.

Penyimpangan Syiah Berkaitan dengan Iman

Syi’ah rafidhah mempunyai aqidah (keyakinan) yang disebut aqidah al bada’ yakni mereka meyakini bahwa imam-imam mereka mengetahui hal yang ghaib sehingga imam-imam mereka mengetahui masa depan dan mereka meyakini bahwa imam-imam mereka adalah maksum (terjaga dari dosa). Aqidah al bada’ ini adalah aqidah yang agung menurut syiah.

Berdasarkan aqidah al bada’, Allah baru mengetahui kejadian ketika kejadian itu terjadi. Konsekuensi dari aqidah ini, jika apa yang dikabarkan imam mereka tentang masa depan bertolak belakang dengan takdir Allah maka mereka beranggapan yang salah bukan imam mereka, tetapi Allah lah yang salah atau Allah salah ketika mengabarkan wahyu kepada imam mereka. Aqidah al bada’ ini adalah aqidah yang batil dan aqidah ini ada di dalam kitab taurat palsu yang ada di Yahudi.

Bantahan ahlussunnah kepada syiah berkaitan dengan aqidah ini adalah bahwasanya naskh dan mansukh terjadi pada hukum bukan terjadi pada berita, jika terjadi pada berita maka konsekuensinya adalah bohong dan Allah tidak mungkin berbohong, Maha Suci Allah dari apa yang mereka sangkakan.

 

Makna Ihsan

Sebuah amal dikatakan ihsan cukup jika diniati ikhlas karena Allah, adapun selebihnya adalah kesempurnaan ihsan.

Level mimal suatu amal dikatakan ihsan adalah ikhlas dan mutaba’ah (sesuai ajaran Nabi)

Kesempurnaan ihsan meliputi 2 keadaan:

  1. Maqom Musyahadah

Makna ini diambil dari teks hadits “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya”. Melihat disini bukan berarti melihat zat Allah, sebagian sufi mengatakan bahwasanya jika sudah mencapai level tertinggi maka kita bisa melihat zat Allah secara langung dan berinteraksi dengan-Nya, pemahaman sufi ini adalah pemahaman yang salah. Yang dimaksud melihat disini adalah senantiasa memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Semakin dia mendalami dan mengetahui nama dan sifat Allah maka ia akan menyadari bahwa segala hal yang terjadi adalah kekuasaan Allah, jika ia berbuat dosa maka ia akan segera bertaubat karena ia mengetahui bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat.

 

  1. Maqom Muraqobah yaitu senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktifitasnya, kedudukan yang lebih tinggi lagi. Maqam muraqabah ini lebih rendah dari maqam musyahadah.

Makna ini diambil dari teks hadits “Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau”

 Ketika beribadah kepada Allah, dia selalu merasa diawasi oleh Allah, selalu diliputi ilmu Allah sehingga ia khusyu’ dalam beribadah kepada-Nya

Hari Akhir

Pengetahuan tentang kapan terjadinya hari kiamat adalah rahasia Allah, hanya Allah yang mengetahuinya bahkan malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam yang merupakan makhluk yang dekat dengan Allah pun tidak mengetahui. Jika ada berita yang mengatakan kiamat akan terjadi pada tanggal sekian tahuns ekian maka bisa dipastikan kaabr itu adalah dusta, hanya bualan belaka, jika makhluk yang mulia seperti malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam saja tidak mengetahui, apalagi orang yang tingkatannya jauh di bawah mereka.

Yang terpenting bagi kita bukanlah kapan kiamat akan terjadi, yang terpenting adalah apa persiapan kita untuk menghadapi hari kiamat.

Tanda-tanda kiamat ada dua yakni tanda-tanda kiamat besar dan tanda-tanda kiaamt kecil.

Tanda-tanda kiamat kecil yakni sebelum munculnya Al Masih Ad Dajjal. Tanda kiamat kecil yang disebutkan dalam hadits ini adalah ”Apabila budak wanita melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan.”

Apabila budak perempuan yang melahirkan tuannya yakni qiyas tentang kedurhakaan menjelang hari kiamat sehingga ada anak yang memperlakukan ibunya sebagai budak, menjelang hari kiamat banyak hal yang terbalik, seolah-olah ibu menjadi budak dan anak tersebut yang menjadi tuannya.

 

 

Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :

  1. Disunnahkan untuk memperhatikan kondisi pakaian, penampilan dan kebersihan, khususnya jika menghadapi ulama, orang-orang mulia dan penguasa.
  2. Dzahir hadits menunjukkan hal ini (baju putih) adalah hal yang dianjurkan & ini bisa kita usahakan
  3. Adapun rambut hitam tidak bisa kita usahakan & ada larangan menyemir rambut dengan warna hitam

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“غَيِّرُوا هَذَا الشَّيْبَ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ  (رواه مسلم)

“Rubahlah warna uban itu, dan jauhi warna hitam.” (HR. Muslim, no. 2102)

  1. Mengenai dhamir (kata ganti) pada kata فَخِذَيْهِ (kedua pahanya) terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:
  • Kedua pahanya, kata “nya” kembali kepada Jibril ‘alaihissalam
  • Kedua pahanya, kata “nya” kembali kepada Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam dan ini yang lebih kuat

Jadi pada hadits di atas Jibril meletakkan kedua tangannya pada paha Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam

 

  1. Dalam hadits ini dicontohkan adab yang baik dalam berguru (menuntut ilmu) yakni dengan mendekat kepada guru yang hikmahnya dia tidak perlu berteriak-teriak ketika hendak bertanya kepada guru & guru juga tidak perlu berteriak-teriak ketika menjelaskan kepada para muridnya.
  2. Jika Surat Al Fatihah disebut Ummul Qur’an (Induknya Al Qur’an) maka hadits Jibril ini disebut Ummu Sunnah (Induknya As Sunnah). Imam Al Baghawi dalam Al Mashabih & Syarhussunnah mengawali kitabnya dengan hadits ini karena hadits ini adalah ummu sunnah yang menjelaskan inti ajaran islam. Di dalamnya terdapat terdapat pokok-pokok akidah (rukun iman), mencakup syariat yang dzahir (rukun Islam), & di dalamnya terdapat keimanan terhadap yang ghaib (hari kiamat), dan juga terdapat adab dalam majlis ilmu.
  3. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam adalah seorang pemimpin yang paling mulia namun beliau tetap berbaur dengan para sahabat dengan tidak memposisikan diri sebagai orang yang mulia yang membutuhkan tempat atau singgasana khusus.
  4. Siapa yang menghadiri majlis ilmu dan menangkap bahwa orang–orang yang hadir butuh untuk mengetahui suatu masalah dan tidak ada seorangpun yang bertanya, maka wajib baginya bertanya tentang hal tersebut meskipun dia mengetahuinya agar peserta yang hadir dapat mengambil manfaat darinya.
  5. Jika seseorang yang ditanya tentang sesuatu maka tidak ada cela baginya untuk berkata: “Saya tidak tahu“, dan hal tersebut tidak mengurangi kedudukannya.
  6. Kemungkinan malaikat tampil dalam wujud manusia.
  7. Termasuk tanda hari kiamat adalah banyaknya pembangkangan terhadap kedua orang tua. Sehingga anak-anak memperlakukan kedua orang tuanya sebagaimana seorang tuan memperlakukan hambanya.
  8. Tidak disukainya mendirikan bangunan yang tinggi dan membaguskannya sepanjang tidak ada kebutuhan.
  9. Didalamnya terdapat dalil bahwa perkara ghaib tidak ada yang mengetahuinya selain Allah ta’ala.
  10. Konsekuensi dari pernyataan (…malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian) adalah bahwa yang terdapat dalam hadits sudah mencakup inti ajaran Islam.

 

Sumber: Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi – Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh – http://muslim.or.id yang disusun oleh Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)

Apa Itu Sirah?

 

 

Secara bahasa kata as sirah berasal dari kata sara yasiru sayra, tas-yara, masara dan sara as sunnata atau sara as sirah; salakaha wa ittaba’ah (yakni menempuh dan mengikutinya).
Sirah Nabi termasuk hadits ditinjau dari dua sisi:

1. Karena disandarkan kepada Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam sebagai pembuat syariat
2. Karena diriwayatkan secara bersanad

Berdasarkan alasan kedua, para ulama ahli hadits memisahkannya menjadi satu kitab dengan bab-bab tersendiri, seperti menceritakan maghazi (peperangan) Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, hari-hari, kepribadian, dan nubuwwah (kenabian) beliau.

Ditinjau dari berbagai peristiwa yang ada di dalamnya, sirah adalah bagian dari tarikh, sebab tarikh secara bahasa berarti upaya mengenalkan waktu.
Dari uraian di atas, kita sebagai umat Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam dituntut untuk melangkah di atas jalan yang telah dilalui oleh beliau semampu kita. Lebih-lebih lagi kita diciptakan oleh Allah Ta’ala semata-mata hanya untuk beribadah kepada-Nya saja tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun juga. Oleh karena itu, tidaklah sempurna ibadah yang kita lakukan kecuali dengan mengikuti tuntunan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam.

Bagaimana mungkin kita akan mengikuti tuntunan beliau jika kita tidak menenal beliau? Bahkan cinta kepada Allah disyaratkan harus adanya ketaatan kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam. Oleh sebab itu tidak mungkin seseorang mentaati beliau sedangkan dia tidak mengenal pribadi beliau. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran:31)
Tidak akan sempurna pula keimanan seorang muslim hingga dia mendahulukan cintanya kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam daripada orang tuanya dan anaknya dan seluruh manusia sebagaimana hadits berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Dari Anas berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan dari manusia seluruhnya”. (HR. Bukhari no.14)

Sebagian ahli ilmu ada yang mendefinisikan sirah sebagai manhaj nabawi, akhlaq Muhamamdi, terkait dengan sifat-sifat beliau, budi pekerti beliau, dan semua keistimewaan yang telah Allah berikan kepada beliau. Termasuk dalam hal ini adalah mukjizat beliau sebagai bentuk pertolongan dan pembelaan Allah terhadap beliau. Begitu pula cara bergaul beliau denagn kaum muslimin, baik sebagai seorang nabi maupun sebagai rasul, dan teladan dalam segala hal, hingga beliau menjadi perumpamaan tertinggi bagi mereka. Oleh karena itu, mempelajari sirah nabawiyah –melalui sumber aslinya- akan membekali hati dan akal dengan pemahaman sejarah yang sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin. Mengapa demikian? Karena sejarah hidup Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam adalah sejarah paling sempurna tentang kehidupan manusia yang dilandasi oleh dalil-dalil Al Quran, sunnah nabawiyyah, dan kenyataan sejarah yang membuatnya sesuai bila diterapkan di semua waktu dan tempat.

Sumber: Majalah Qudwah

Pengantar Penjelasan Kitab Aqidah Wasthiyah

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam yang lengkap dan sempurna semoga dilimpahkan kepada Nabi dan Rasul paling mulia, Nabi dan Imam kita, Muhammad bin Abdullah, juga kepada segenap keluarga, shahabatnya, dan siapa saja yang mengikuti jejak mereka dengan baik, hingga Hari Kiamat. Amma ba’du.

Kitab “Al-Aqidah Al Wasithiyah” tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  رحمه الله تعالى, adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adapun latar belakang penulisan, dan penamaannya dengan Al Wasithiyah, ialah: Bahwa seorang Qadhi dari negeri Wasith yang sedang melaksanakan haji datang kepada Syaikhul Islam dan memohon beliau untuk menulis tentang Aqidah Salafiyah yang beliau yakini. Maka, beliau رحمه الله menulisnya dalam tempo sekali jalsah, (sekali duduk), seusai shalat ‘Ashar. Ini merupakan bukti nyata bahwa beliau رحمه الله memiliki ilmu yang luas dan dikaruniai oleh Allah kecerdasan dan keluasan ilmu yang mengagumkan. Dan itu tidak aneh, karena karunia Allah itu diberikan dan diharamkan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Agung, kita memohon akan keutamaan dan kemuliaan-Nya.

Kelebihan kitab aqidah wasithiyah:

  1. Kitab ini merupakan bukti keilmuan Ibnu Taimiyyah karena kitab ini ditulis beliau dengan sebab permintaan seorang qadhi (bernama Radhiyuddin) dari kota Wasith (di Irak) setelah terjadi penjajahan dari bangsa Mongol (Tar-Tar). Dari hal ini bisa diambil adab dalam menuntut ilmu yaitu mengambil dari guru yang mutqin dan ahli di bidangnya. Kitab ini ditulis antara asar dan maghrib
  1. Kitab ini berlandaskan Al Qur’an, Sunnah, dan ijma’ para ulama salaf. Ibnu Taimiyyah berkata,“saya berusaha untuk benar-benar mengikuti al quran dan sunnah dalam menulis aqidah wasithiyyah ” (Majmu Fatawa).

    Ibnu Taimiyyah berkata, “setiap lafadz yang aku sebutkan (dalam buku ini) pasti akan aku iringi dengan ayat atau hadits atau aku sebutkan ijma para ulama salaf”. Ini adalah jalan ahlussunnah dalam berdalil. Ahlussunnah melihat dalil baru menetapkan aqidah sedangkan ahlul bida dan ahwa menetapkan aqidah dulu baru mencari-cari dalilnya. (Syaikh Abdul Malik Ar Ramadhani)

  1. Aqidah wasithiyyah adalah hasil penelitian Ibnu Taimiyyah terhadap perkataan-perkataan ulama salaf tentang asma(nama-nama) & shifat Allah, yaumil akhir, qadar, sahabat, dan lainnya yang merupakan pokok aqidah ahlussunnah.
    Ibnu Taimiyyah, “Tidaklah aku kumpulkan dalam aqidah wasithiyyah kecuali perkataan para salaf semuanya”
  1. Beliau (Ibnu Taimiyyah) mengakui bahwa kitab ini benar-benar beliau teliti. Beliau berkata, “saya beri kesempatan terhadap orang yang menyelisihi kitab aqidah wasithiyyah selama tiga tahun. Apabila orang yang menyelisihi mendatangkan sebuah kata yang ternyata bersumber dari 3 generasi awal yang dipuji nabi dan kalimat itu menyelisihi apa yang aku tulis maka aku akan mengalah dan aku ambil perkataan dia”.
  1. Aqidah wasitiyyah ini ringkas akan tetapi mengandung sekian banyak permasalahan-permasalahan iqtiqod dan juga mengandung pokok-pokok iman. Bagaimana akhlak seorang ahlussunnah wal jamaah

Penulis sebagian besar mengambil faedah dari Kajian Aqidah Wasithiyah bersama Ustadz Zaid Susanto, Lc

Bab Wadah

 

wadah

Wadah/bejana menurut ahli bahasa, yaitu setiap tempat yang bisa menampung benda lain. Wadah boleh terbuat dari bahan apa saja, seperti kulit, batu, emas, besi, perak, perunggu, dan lainnya. Ada wadah yang boleh digunakan dan ada yang tidak boleh digunakan, baik untuk thoharoh maupun selainnya.

 

bejana

Terkait wadah, ada beberapa larangan yang perlu diperhatikan:

1. Terlarang menggunakan wadah yang mengandung emas dan perak (baik olesan, sepuhan, murni) untuk makan atau minum dan hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) para ulama , kecuali wadah retak yang ditambal seperti garis dengan perak sedikit maka hal ini boleh.

Dalil terlarangnya menggunakan wadah yang terbuat dari emas atau perak untuk makan dan minum adalah

“Jangan kalian minum pada bejana yang terbuat dari emas dan perak dan jangan pula kalian makan di piringnya karena sesungguhnya bejana tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kita di akhirat (nanti).” 

 

[HR. Bukhari, No. 5426 dan Muslim, No. 2067] 

الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ

“Orang yang minum dari gelas perak, sesungguhnya dia menumpahkan api neraka ke dalam perutnya.” (Bukhari Muslim dari riwayat Ummu Salamah) 

Adapun dalil bolehnya menggunakan wadah yang terdapat tambalan dari perak adalah hadits berikut

Dari Anas bin Malik rodiyalloohu ‘anhu bahwa gelas Nabi shollalloohu ‘alaihi wasallam retak (sedikit pecah) maka beliau (menambal) tempat yang retak itu dengan jalinan dari perak.” 

(HR. Al-Bukhory)

 

 Tambalan dengan perak itu diperbolehkan dengan 4 syarat :
1) Berbentuk tambalan (سِلْسِلَةً)
2.) Sifatnya sedikit tambalan itu ;
3.) Hanya dibolehkan dari perak saja, emas tidak boleh ;
4.) Hal itu dilakukan karena hajat (ada kebutuhan)
Mengenai penggunaan wadah emas dan perak untuk selain makan dan minum terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama

1. Pendapat pertama adalah terlarang menggunakan wadah yang terbuat dari emas dan perak untuk semua penggunaaan. Pendapat ini dipilih oleh jumhur (mayoritas) ulama dan juga dipilih oleh Ibnu Qudamah.

Dalil yang digunakan jumhur adalah

 “ … karena sesungguhnya bejana tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kita di akhirat (nanti).”

 

Menunjukkan seakan penggunaannya tidak terbatas pada perkara makan dan minum saja dan karena dasar ‘illah-nya adalah kecenderungan hati untuk bermegah-megahan dengan emas dan perak. Apalagi sebagian sahabat mencela penggunaan emas dan perak dalam bentuk isti’mal (menggunakannya) sebagaimana dalam sebagian riwayat ‘Aisyah dan Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma.

2. Pendapat kedua adalah boleh menggunakan wadah yang terbuat dari emas atau perak untuk selain makan dan minum. Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa penggunaan (selain makan, minum) diperbolehkan. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Author , dalam kitab Ad DurorulBahiyah, Imam Ash Shon’ani dalam SubulussalamSyaikh Al-‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti dan ini adalah pendapat yang lebih kuat, wallahu a’lam.

Dalil yang digunakan pendapat ini adalah

Dari ‘Utsman ibnu ‘Abdillah ibnu Mauhib, ia berkata, “Keluargaku mengutus saya kepada Ummu Salamah dengan membawa gelas berisi air. Lalu Ummu Salamah datang dengan membawa sebuah genta dari perak yang berisi rambut Nabi. Jika seseorang terkena penyakit ‘ain atau sesuatu hal, maka ia datang kepada Ummu Salamah membawakan bejana untuk mencuci pakaian. “Saya amati genta itu dan ternyata saya melihat ada beberapa helai rambut berwarna merah,” kata‘Utsman.

 

[HR. Bukhory dalam Kitaabul Libaas]

 

Penjelasan Hadits :
Genta (jaljal) berbentuk seperti lonceng dan terbuat dari perak. ‘Ummu Salamah menyimpan beberapa helai rambut Rasullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam genta tersebut dan digunakan oleh orang-orang ketika sakit untuk bertabarruk (meminta berkah) dengan zat Nabi, Hal itu ada dalam atsar bahwa Allah subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan keberakahan pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi keberkahan itu hanya khusus pada Nabi saja dan tidak kepada selain beliau. Ummu Salamah meletakkan rambut Rosululloh dalam jal-jal yang terbuat dari perak menunjukkan bolehnya penggunaan bejana emas dan perak, selain perkara makan dan minum.Dalil lainnya adalah kaedah umum yang berbunyi
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يرد دليل بالمنع
.

“Segala sesuatu itu halal hukumya (boleh digunakan) kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Maksud kaidah diatas bahwa semua benda adalah suci (tidak najis) kecuali ada keterangan dari Al-Qur’an maupun hadist yang menunjukan haramnya sesuatu benda. Dengan demikian benda yang haram sedikit sekali dibanding benda yang halal.
Berdasarkan kaedah di atas dan dalil yang ada, yang dilarang adalah penggunaan emas atau perak untuk makan dan minum, adapun selain hal tersebut maka diperbolehkan, wallahu a’lam.

Tetapi, tidak ada salahnya jika kita bersikap wara (berhati-hati) dengan mengindari pemakaian bejana/wadah yang terbuat dari emas dan perak sebagaimana pendapat jumhur ‘ulama yang lebih berhati-hati. Apalagi jika disertai sifat bermegah-megahan dan ini tentunya akan lebih mengarah kepada hal yang diharamkan.

Makan dan minum menggunakan bejana dari emas dan perak merupakan dosa besar karena diancam dengan neraka. dan kaedah dalam masalah ini adalah setiap dosa yang diancam dengan neraka maka dosa tersebut termasuk ke dalam dosa besar.

Hikmah dari larangan  ini adalah:

  1. Agar tidak menyerupai orang-orang kafir
  2. Agar tidak boros
  3. Agar tidak menyakiti hati orang-orang miskin

Ada pertanyaan: bagaimana hukum menggunakan permata atauintan untuk makan dan minum?

Jawab: Hukum asalnya boleh, hanya saja jika bisa mengantarkan kepada kesombongan maka tidak boleh karena yang dilarang berdasarkan dalil adalah emas dan perak.

2. Terlarang wadah terbuat dari kulit bangkai kecuali setelah disamak untuk binatang yang boleh dimakan.

Wadah yang terbuat dari kulit bangkai binatang yang boleh dimakan yang telah disamak boleh digunakan baik kering atau basah. Yang memilih bolehnya adalah jumhur(mayoritas) ulama karena adanya hadits shohih yang membolehkan penggunaan kulit bangkai setelah disamak.

 Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata bahwa beliau mendengar Rosulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.”

[HR. An Nasa’i, No. 4241, At Tirmidzi No. 1728, Ibnu Majah No. 3609, Ad-Darimi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir Wa ZiyadatuhuNo. 4476 mengatakan hadits ini shohih]
Hadits Ibnu Abbas tegas sekali menunjukkan apabila  kulit bangkai sudah disamak, maka terhukumi suci.

Dan telah menceritakan kepadaku Abu ath-Thahir dan Harmalah keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah dariIbnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendapati kambing mati yang telah diberikan sebagai sedekah kepada maula Maimunah, maka Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mengapa kalian tidak memanfaatkannya dengan menyamaknya?” Mereka berkata, “Ia sudah menjadi bangkai.” Maka beliau bersabda, “Yang diharamkan hanyalah memakannya.”  [HR. Muslim, No.543]

Hadits diatas menunjukkan bahwa yang diharomkan hanya memakannya. Ada pun jika kulitnya sudah disamak, maka suci. Pendapat yang inilah yang lebih mendekati bahwa kulit bangkai yang sudah disamak, maka hukumnya suci. Jika belum disamak, maka masih najis.Apakah kulit babi dan hewan haram lainnya juga termasuk dalam hadis ini? Sehingga ketika kulit babi itu disamak maka statusnya suci dan boleh dimanfaatkan?

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa kulit anjing atau babi, tidak bisa menjadi suci dengan disamak. Sementara itu, hadis ini hanya berlaku untuk kulit bangkai binatang yang halal dimakan. Misalnya, sapi yang mati tanpa disembelih maka menjadi (bangkai), kemudian kulitnya disamak, maka status kulit ini menjadi suci dan boleh dimanfaatkan.

Diantara ulama yang memilih pendapat ini adalah Imam As-Syafii. Dalam kitab Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi menyatakan,

مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ جَمِيعُ جُلُودِ الْمَيْتَةِ إِلَّا الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيرَ وَالْمُتَوَلِّدَ مِنْ أَحَدِهِمَا

Pendapat As-Syafii, bahwa kulit yang menjadi suci dengan disamak adalah semua kulit bangkai binatang, kecuali anjing, babi, dan spesies keturunannya. (Syarh Shahih Muslim, 4/54).

Ibnu Utsaimin menjelaskan, bahwa kulit binatang ada 3 macam:

Kulit binatang yang statusnya suci dan boleh dimanfaatkan, meskipun tidak disamak. Itu adalah kulit hewan yang halal dimakan dan disembelih dengan cara yang benar.

Kulit binatang yang tidak bisa disucikan, meskipun telah disamak. Statusnya tetap najis, apapun keadaannya. Itulah kulit semua binatang yang haram dimakan, seperti babi atau anjing.

Kulit binatang yang suci setelah disamak, dan najis jika tidak disamak. Itulah kulit bangkai binatang yang halal dimakan, seperti kulit bangkai sapi, dst.  (Liqa’at Bab Al-Maftuh, Volume 52, no. 8).

Alat-alat yang digunakan untuk menyamak kulit yaitu sesuatu yang tajam rasanya atau kelat seperti tawas, cuka, asam, limau dan sebagainya.

Cara menyamak kulit binatang :

  • Terlebih dahulu hendaklah dipisahkan kulit binatang dari anggota badan binatang (setelah disembelih)
  • Dicukur semua bulu-bulu dan dibersihkan segala urat-urat dan lendir-lendir daging dan lemak yang melekat pada kulit.
  • Kemudian direndam kulit itu dengan air yang bercampur dengan benda-benda yang menjadi alat penyamak sehingga tertanggal segala lemak-lemak daging dan lendir yang melekat di kulit tadi.
  • Kemudian diangkat dan dibasuh dengan air yang bersih dan dijemur.

wallahu a’lam

Sumber:

Kitab mulakhos fiqhiy

catatandars.blogspot.com

 

Bab Air

 

 

water

 

Pengertian Thaharah

  • Thaharah secara bahasa berarti bersih dari kotoran konkret dan abstrak
  • Thaharah secara syar’i berarti menghilangkan hadats dan hilangnya najis

Pembagian Thaharah

Para ulama membagi thaharah menjadi dua :

  1. Thaharah maknawiyah (yang abstrak)

Yaitu membersihkan diri dari kotoran dan najisnya perbuatan syirik (menyekutukkan Allah), kekufuran, kenifaqkan, begitu juga membersihkan diri kita dari perbuatan bid’ah dan kemaksiatan.

Dalil tetang ini adalah firman Allah Ta’ala :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

Ambilah shadaqah (zakat) dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka.” (Qs. At Taubah : 103)

        2.  Thaharah hissiyyah (yang konkret)

Yaitu dibagi menjadi dua ;

1. Membersihkan dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.

2. Membersihkan dari najis.

Adapun yang dibahas para ulama dalam kitab fiqih mereka adalah jenis yang kedua yaitu thaharah hissiyyah.

Untuk menghilangkan hadats, pelakunya harus memiliki niat sedangkan hilangnya najis sah tanpa niat, yang penting hilang najisnya

Air

Air Mutlak

– Air mutlak adalah air yang masih dalam bentuk penciptaan aslinya, misalnya: hujan, salju, embun, air sumur, sungai, dll.

– Warnanya putih/belerang, kuning, rasanya apakah tawar, asin yang jelas dia berada diatas penciptaannya.

Air mutlak suci dan mensucikan

Dalil sucinya air mutlak  adalah firman Allah Ta’ala :

وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

“ Dan Kami menurunkan dari langit air yang amat suci. “ (Qs. Al Furqaan : 48)

 

Dan dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda tentang air laut dan juga air sumur :

“ Ia (air laut itu) suci airnya halal bangkainya.” (HR. Ibnu Majah, Imam Malik, Abu Dawud dan selain mereka)

 

“ Sesungguhnya air (sumur) itu suci, tidak bisa dinajiskan oleh sesuatupun “ (HR. Tirmidzi, An Nasai, dishahihkan oleh Syaikh al Albani).

Air Muqoyyad

–  Air yang sudah terikat karena sudah bercampur dengan benda atau dzat lain. Misal : sabun, gula, teh, susu, dan semisalnya. Jadi secara umum air yang disifatkan sebagai maa’ thohur (air yang suci) adalah air mutlak dan dianggap sebagai maa’ thohur dan apa yang berada diatas makna ini, maka itulah air mutlak.

Jika air mutlak berubah rasa, warna, atau bau karna najis maka tak sah untuk bersuci dan ini ijma (kesepakatan ulama), adapun jika berubahnya karna materi suci dan tidak dominan maka dalam hal ini yang lebih kuat adalah sah untuk thaharah (ada perbedaan di kalangan ulama dalam hal ini), misal: air yang terkena tanah atau sabun, jika air yang dominan dan benda ini masih disebut air maka sah untuk bersuci.

Jika materi pencampur yang dominan maka sudah tidak disebut air lagi, misalnya sabun yang dominan maka sudah tidak disebut air tapi disebut sabun yang kecampuran air.

Air Musta’mal

– Air musta’mal  adalah air yang sudah dipakai untuk berwudhu  -misal-, lalu sebagian dari air bekas wudhu itu jatuh lagi ke air untuk wudhu dan inilah definisi menurut para fuqoha.

air musta’mal adalah suci dan mensucikan dan inilah pendapat yang lebih kuat dan dikuatkan oleh banyak ‘ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Al Utsaimin, Syaikh bin Baaz, dan selainnya.

–  Dalilnya : 

Hadits riwayat Bukhory bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam ketika hendak berwudhu’, maka para sahabat hampir saja perang memperebutkan air bekas wudhu nabinya sehingga dikalangan mereka tidak ada yang namanya istilah air mustakmal.

– Dalil berikutnya : 

Telah sah dalam Shohih Muslim, dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam memakai air mandi yang dipakai mandi istrinya, yaitu  Maimunnah binti Al-Harits Al-Hilaliyah.

– Dalam Kitab As-Sunan disebutkan bahwa ketika Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam mandi sebagian istri beliau berkata, “Wahai, Rosulullah tadinya saya junub dan mandi dengan air itu.” Kemudian Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam berkata, “Air itu tidak memindahkan junub. Jika saya junub, maka air tersebut tidak junub.”

Dalil diatas menunjukkan air musta’mal tidak dianggap atau tidak memberikan pengaruh hukum dari air itu sendiri sehingga air tersebut tetap suci karena ada dalil mengenai air muthlaq, yaitu yang sepanjang masih ada sifat-sifat airnya, walaupun sudah digunakan, air itu tetap dihukumi thohur (suci dan mensucikan).

– Kesimpulannya adalah air musta’mal itu suci dan mensucikan (thohur).

Thaharah baik untuk menghilangkan hadats besar maupun kecil pada umumnya menggunakan air, bisa diganti dengan debu/tanah jika:

– Air tidak ada (di jarak sekitar yang wajar)

– Tidak mampu menggunakan air, misalnya karna cuaca sangat dingin atau karna sakit

Macam-macam air ditinjau dari kesucian dan bisa tidaknya untuk bersuci dibagi menjadi  dua:

1. Air thahur: air yang suci dan bisa digunakan untuk bersuci. misalnya: air sungai, air sumur, air hujan, salju, dll

2. Air najis: air yang najis dan tidak bisa digunakan untuk bersuci. misalnya: kencing

sumber:

Kitab Mulakhos Fiqhiy

catatandars.blogspot.com

 

 

Larangan Membuka Aib Diri Sendiri (Mujaharoh)

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, katanya: “Saya mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. bersabda: “Setiap umatku itu dimaafkan, kecuali orang-orang yang mujahir (suka menampak-nampakkan kejahatan/maksiatnya sendiri dengan rasa bangga, atau melakukan maksiat di depan umum, tahu jika salah tetapi dia terus melakukan maksiat tersebut). Sesungguhnya (termasuk) mujahir ialah jikalau seorang melakukan sesuatu perbuatan -dosa- di waktu malam, kemudian di pagi hari, sedangkan Allah telah menutupi keburukannya itu, tiba-tiba ia berkata -pada pagi harinya itu-: “Hai Fulan, saya tadi malam melakukan demikian, demikian.” Orang itu semalaman telah ditutupi oleh Allah celanya, tetapi pagi-pagi ia membuka tutup Allah yang diberikan kepadanya itu.” (Muttafaq ‘alaih)

Mujaharoh ada dua:

  1. Langsung melakukan maksiat di depan umum. Dia telah menyebabkan kecelakaan bagi dirinya (mendzalimi diri sendiri) dan bagi orang lain (ketika maksiat di depan orang lain dia memancing orang lain melakukan maksiat yang semisal atau menjadikan orang lain menganggap enteng maksiat tersebut).

Kesalehan seseorang adalah bagaimana ia mengamalkan ilmu yang ia pelajari. Orang yang beramal karna tidak ikhlas maka ia akan dilempar ke neraka wal’iyadzubillah. “siapa mencari ilmu yang seharusnya dicari untuk mengharap ridha Allah (namun ia malah niatkan untuk mendapat kedudukan di kalangan manusia) maka ia akan dicampakkan ke neraka”

  1. Orang itu melakukan kemaksiatan sembunyi-sembunyi tapi kemudian ia sebarkan meskipun hanya ke teman dekatnya, tidak di depan umum.

Semoga Allah menggolongkan kita termasuk orang yang mendapat ampunan dan menjauhkan kita dari menjadi orang yang mujahhir. Aamiin

Faedah hadits:

  1. Mujaharoh (pamer dosa) adalah dosa tersendiri selain dosa yang dilakukan karna mujaharoh sesungguhnya adalah menyepelekan keagungan Allah, bagaimana tidak, Allah sudah tutupi maksiat yang ia lakukan tetapi ia justru menampakkannya dan mujaharoh itu mengandung unsur keras kepala .

Setiap dosa di bawah kesyirikan di bawah kehendak Allah, jika Allah berkehendak akan Allah ampuni dan jika Allah berkehendak akan Allah adzab.

  1. Mujaharoh adalah termasuk menyebarkan faahisyah di kalangan kaum muslimin.

Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang suka jikalau keburukan (faahisyah) itu merata -tersebar- di kalangan orang-orang yang beriman, maka orang-orang yang bersikap demikian itu akan memperoleh siksa yang pedih, baik di dunia maupun di akhirat.”

Malu adalah bagian dari iman. Malu bermaksiat bukan munafik tapi itu adalah iman. Sebagian orang di zaman ini mengatakan malu bermaksiat dengan munafik, istilah ini bertolak belakang 180o

  1. Orang yang ditutup aibnya oleh Allah di dunia maka Allah juga akan menutupi aibnya di akherat dan tidak akan mempermalukan dia. Jika kita pernah maksiat maka rahasiakanlah, jangan diceritakan apalagi dengan bangga, tugas kita adalah bertaubat. Jika kita menceritakan maksiat untuk mengambil ibroh tidak termasuk mujaharoh jika tidak mengurangi kehormatannya. Adapun jika pernah berzina hendaknya dirahasiakan karna hal tersebut sangat pribadi dan bisa mengurangi kehormatan
  2. Dalam mujaharoh mengandung 5 kejahatan:
    1. Dosa yang dia pamerkan adalah kejahatan
    2. Dia menyebut-nyebut dosa tersebut setelah dia laksanakan atau dia laksanakan di depan manusia meskipun dengan satu orang, na’udzubillahi min dzalik. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosa kita
    3. Menyingkap tabir yang telah ditutupkan Allah kepadanya.
    4. Menggerakkan / memancing / membangkitkan keinginan hasrat untuk berbuat buruk. Dia memancing orang yang mendengar maksiat yang ia ceritakan atau menyaksikan maksiat yang ia ceritakan untuk melakukan maksiat yang sama dengan yang ia lakukan.

“Siapa yang menunjukkan kepada satu kejahatan maka dia kan mendapatkan keburukan dari dosanya dan dosa orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat…”

Dia menyebabkan keburukan menimpa dirinya dan menyebabkan keburukan menimpa orang lain
5. Mempersiapkan sebab dan jalan untuk maksiat. Orang yang menjadi sebab kebaikan maka dia dapat pahala, begitu juga dalam keburukan.

“siapa yang mempersiapkan (kebutuhan) bagi seorang pejuang maka dia pejuang”

Menutup Aib Orang Lain Di Dunia, Allah Akan Tutupi Aib Kita Di Hari Kiamat

 

Dari Abu Hurairah radhiyallhu’anhu dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Tiada seorang hambapun yang menutupi cela/aib seorang hamba yang lainnya di dunia, melainkan ia akan ditutupi cela/aibnya oleh Allah pada hari kiamat.” (Riwayat Muslim)

Keterangan:

Orang-orang yang dihinakan akan diadili di depan semua orang.

Menutup aib ada dua kemungkinan: yang terpuji dan yang tercela

Al jazaau min jinsil amal : orang yg menutup aib saudaranya maka Allah akan menutup aibnya di hari kiamat. Balasan yang kita terima dari Allah jauh lebih bayak dari amalan yang kita lakukan di muka bumi

“Barangsiapa yang membebaskan kesulitan-kesulitan dari saudaranya di dunia maka Allah akan bebaskan membebaskannya dari kesulitan di hari kiamat”

Balasan Allah jauh lebih besar dari apa yang kita amalkan, kalau bukan karna rahmat Allah niscaya kita tidak bisa masuk surga.

“tidak ada seorang pun yang masuk surga karna amalnya. Sahabat: sampai engaku ya rasulullah. Nabi: ya, saya juga. Hanya saja Allah sudah merahmatiku sehingga aku bisa masuk surga”

Syaikh Utsaimin: menutup aib ada dua macam:

  1. Menutup yang terpuji

Apabila yang melakukan kesalahan seorang yang shalih yang biasanya tidak melakukan kesalahan. Mungkin dia tidak sengaja, ketika itu sedang terdorong hawa nafsu, mayoritas hidupnya dipenuhi ketaatan, maka lebih utama menutupinya dan ini tidak berarti tidak menasehatinya.

  1. Menutup yang kurang terpuji bahkan tercela

Menutupi aib orang yang menggampangkan maksiat, dia sering melakukan kesalahan dan menyepelekan kesalahan dia.

 

Ketika akan menutup aib saudara kita kita harus mempertimbangkan mashlahat dan madharat, jika maslahat menutupi lebih besar maka kita tutupi tapi jika mashlahat menyebarkannya lebih besar maka tidak kita tutupi dan jika antara mashlahat dan madharat sama maka yang lebih baik menutupinya. Wallahu a’lam

 

Faedah hadits

  1. Siapa yang menutup aib hamba di dunia maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat. Barangkali dosanya akan diampuni oleh Allah bisa dengan Allah tidak menanyakan dosanya atau kalaupun ditanyakan Allah tidak akan mempermalukan dia di depan seorang mahluk. “wahai hambaKu, karna engkau telah menutupi dosa saudaaramu / engkau telah bertaubat setelah maksiat di dunia maka Aku pada hari ini akan menutupi aibmu”
  2. Balasan sesuai dengan jenis amal yang ia kerjakan. Orang yang membebaskan budak maka akan Allah bebaskan dari api neraka. Orang yang syahid di dunia maka di akherat akan dibangkitkan dalam darahnya berbau misk. Orang yang menahan makan dan minum karna Allah maka allah akan jauhkan dia dari api neraka 70 musim.
  3. Siapa yang melihat kesalahan dari saudaranya maka dia seyogyanya untuk menutupi kesalahan tersebut. Syaikh Rabi sebelum menerbitkan buku untuk menasehati seorang dai di saudi beliau terus menasehati dai tersebut. Ketika si dai terus menerus dalam kesalahan baru beliau keluarkan buku mengenai dai tersebut.

“kalau keduanya ingin kedamaian maka Alah akan beri taufiq/kemudahan”

Dinasehati dan ditutupi, tidak dinasehati di depan umum karna hal ini termasuk menjelek-jelekan.

  1. Seorang muslim adalah cerminan dari saudaranya. Muslim itu adalah bagian dari dia sendiri, kalau temannya jelek maka dia akan jelek, kalau dia menjelek-jelekan temannya maka ia akan jelek. “muslim dengan muslim lainnya seperti satu tubuh”.
  2. Allah ta’ala Maha Pemalu dan memiliki sifat menutupi. Allah ta’ala mencintai rasa malu dan ditutupnya aib. “iman itu ada 60 sekian cabang atau 70 sekian cabang, yang paling tinggi adalah laa ilaaha ilallah yang paling rendah menyingkirkan duri dari jalan dan malu sebagian dari iman”.
    “rasa malu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan”.
    “jika kamu tidak malu lakukan semaumu”.
    Malu yang sesungguhnya adalah menjaga kepala yang ada di dalamnya dan menjaga perut dan apa yang ada di dalamnya.

Ada orang yang menjalankan syariat malu misalnya malu berjilbab maka ini bukan malu yang syar’i (al hayaa) tapi namanya tapi al khojal

Menutupi Aurat (Aib) Kaum Muslimin Dan Melarang Untuk Menyiar-nyiarkannya Tanpa Adanya Kepentingan Darurat

 

Larangan Menyukai Tersebarnya Berita Fahisyah (Keburukan)

Yang disebut aurat kaum muslimin maksudnya terbagi menjadi dua, ada yang bersifat konkret dan abstrak.

  • Aurat yang konkret: anggota tubuh yang tidak boleh kita pandang.

Aurat laki-laki:

  • Sebagian ulama: antara pusat sampai lutut. Namun yang lebih kuat paha bukan aurat tetapi lebih utama tidak dibuka di hadapan manusia.

Aurat wanita:

  • Sebagian ulama: aurat wanita adalah seluruh tubuh. Sebagian ulama yang lain: aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.

Kebanyakan kaum pria menutupi aurat lebih rapat dari kaum wanita, banyak diantara wanita yang tidak menutupi kaki bagian bawahnya dan keebanyakan kaum pria memakai kemeja dengan lengan panjang sedangkan wanita hanya memakai lengan pendek atau bahkan yang lebih parah hanya memakai tank top.

  • Aurat maknawi/abstrak: aib, perbuatan buruk, baik aib yang sifatnya akhlak ataupun amal/perbuatan.

Setiap bani adam pasti melakukan kesalahan, sebaik-baik orang yang salah adalah yang bertaubat.

Ada dua macam kesalahan manusia: dengan sengaja atau tidak sengaja

Apabila dengan sengaja ini dinamakan dzalim. Jika tidak sengaja (karna tidak tahu) ini dinamakan jahil (bodoh).

“Sesunggunya manusia itu banyak berlaku dzalim dan banyak berlaku jahul”

Manusia tidak lepas dari tiga kondisi:

  1. Mendapat nikmat dan dia wajib bersyukur
  2. Mendapat musibah dan dia wajib bersabar
  3. Melakukan dosa dan dia wajib berisitghfar (bertaubat)

Mudah-mudahan kita termasuk ketiga golongan di atas. Karna tiga perkara itu adalah tanda kebahagiaan seseorang.

Yang harus kita camkan, kewaijban kita adalah menutupi kesalahan saudara kita, jangan menyebarkannya, sebagaimana kita ingin kesalahan kita ditutupi dan tidak disebar.

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu pelayan Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidaklah sempurna keimanan salah seorang di antara kamu sehingga ia mencintai bagi saudaranya (sesama muslim) segala sesuatu yang dia cintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Jika saudara kita membohongi kita dalam jual beli sekali atau dua kali maka jangan disebarkan dulu, kita nasehati dia dan jika dia tidak berubah dan bermuamalah dengan orang lain dengan kecurangan maka tidak ada salahnya kita umumkan aibnya.

Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang suka jikalau keburukan(faahisyah) itu merata -tersebar- di kalangan orang-orang yang beriman, maka orang-orang yang bersikap demikian itu akan memperoleh siksa yang pedih, baik di dunia maupun di akhirat.” (QS. An-Nur:19)

Allah ta’ala menerangkan bahwa orang-orang yang menyukai tersebarnya berita keji di kalangan kaum muslimin maka dia akan diancam azab yang pedih di dunia dan akhirat. Ini baru menyukai maka bagaimana dengan orang yang benar-benar menyebarkan? Na’uzubillahi mindzalik

Ada dua makna dalam menafsirkan mahabbatussuyuuil faahisyah (yang suka jikalau keburukan(faahisyah) itu merata -tersebar-)

  1. Cinta/senang dengan tersebarnya keburukan di kalangan muslimin saja. Diantaranya orang-orang yang senang menyebarkan film-film porno dan majalah-majalah pelacuran atau porno. Orang-orang yang semacam ini tidak diragukan lagi termasuk orang yang suka menyebarkan faahisyah di kalangan masyarakat muslim. Dan dia menginginkan dengan tersebarnya itu seorang muslim terfitnah (rusak akhlaknya), baik dirusak pada agama dia karna tersebarnya majalah-majalah. Dan yang demikian juga memberi kesempatan kepada mereka para penyebar padahal dia mampu untuk melarangnya (termasuk kepala keluarga, ketua RT, kecamatan, kabupaten, gubernur, presiden).

Termasuk faahisyah adalah selfie yang menarik yang bisa memfitnah/menggoda/membuat jantung lawan jenis berdebar-debar. Saya wasiatkan kepada mahasiswa dan mahasiswi agar tidak berselfie dan tidak menupload di internet.

Seseorang yang sengaja bermaksiat misal berzina dan dia menyebar videonya jika kita ridha maka termasuk juga, jangan-jangan kita termasuk dari mereka, na’uzdubillahi min dzalik

  1. Suka dengan tersebarnya berita faahisyah di orang2 tertentu, yakni gossip/berita burung/desas desus. Misal: si fulan melakukan demikian demikian tanpa sumber yang jelas. Sumber2 berita buruk biasanya dari orang fasik. Misal: kejadian ‘aisyah, orang2 hanya menyindir ‘aisyah: ‘apa yg dilakukan pemuda dan pemudi di tempat yang sepi yang tidak ada orang lain selain keduanya?”

Dan kecintaan yang kedua ini bukan di seluruh masyarakat tapi hanya pada person, contohnya berita fitnah terhadap ‘aisyah. Berita tentang kebohongan ‘aisyah adalah masyhur, kebiasan nabi kalau akan mengadakan sebuah perjalanan beliau biasanya mengundi siapa yang berhak ikut safar. Pelajaran: mengajak istri safar adalah nilai tersendiri / keistimewaan bagi istri. Ini bentuk keadilan nabi shalallahu’alaihi wa sallam. Siapa saja yang keluar namanya maka ia akan keluar bersama nabi, ketika itu beliau mengundi dan yang keluar dalam undian adalah ‘aisyah. ‘aisyah adalah istri yang paling dicintai nabi. Akhirnya ‘aisyah diangkat di atas keranda kereta boyong (haudaj), suatu saat mereka bermalam dan ‘aisyah keluar dari haudaj untuk buang hajat. Qadarullah wa maa syaa-a fa’ala, ketika itu nabi memerintahkan untuk berangkat lagi dan tidak dibisa dibedakan apakah  ‘aisyah ada di dalam atau tidak. Ketika ‘aisyah kembali pasukan tidak ada dan beliau tetap tinggal di tempat itu, saat itu datanglah shafwan bin muaththal. Munculnya shafwan saat munculnya matahari. Shafwan baru bangun saat matahari baru terbit, dia melihat ‘aisyah dan mengenalinya. Shafwan dan ‘aisyah tidak becakap-cakap sepatah kata pun. Ketika waktu dhuha ‘aisyah dan shafwan sampai di madinah dan orang-orang munafik melihat perkara tersebut dan mereka melihat celah untuk mencela nabi. Yang mereka tuju bukan ‘aisyah tapi nabi, kalo istrinya seperti itu maka berarti pilihan nabi salah.

Kita sebagai seorang mukmin dilarang menyebar berita yang tidak jelas.

Diantara sahabat yang terjerumus dalam menyebarkan berita tidak jelas itu adalah: hasan bin tsabit, hamnah bin jahsy, misthah.

Hamnah saudari zainab bin jahsy, istri nabi zainab tidak terlibat dalam penyebaran berita ini, padahal biasanya jika ada madu melakukan kesalahan maka madu yang lain biasanya ikut menjelek-jelekan. ‘aisyah saat itu sakit dan dia tidak tahu kabar yang ada di luar.

Munafik tidak didera karna mereka tidak menyebarkan berita dengan sharih akan tetapi hanya sindiran-sindiran.

HAKEKAT DAN KEDUDUKAN TAUHID

Syarah Kitabut Tauhid

BAB 1

TAUHID (HAKEKAT DAN KEDUDUKANNYA)

بسم الله الرحمن الحيم

Para ulama memulai kitabnya dengan بسم الله الرحمن الحيم karena:

  1. Mencontoh Al Qur’an. Al Qur’an diawali dengan بسم الله الرحمن الحيم
  2. Mencontoh Nabi Shallallahu’alaihi Wa Sallam. Beliau ketika menulis surat yang ditujukan kepada para pembesar suatu negeri seperti romawi dan persia diawali surat beliau dengan بسم الله الرحمن الحيم

Faedah menulis بسم الله الرحمن الحيم :

  1. Untuk isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah
  2. Untuk mengharap barakah. Barakah adalah bertambahnya kebaikan dan tetapnya kebaikn tersebut

Setelah menulis بسم الله الرحمن الحيم, Syaikh Muhammad At Tamimi memulai kitabnya dengan menulis كتاب اتوحيد (Kitaabu Tauhiid). Mengapa beliau tidak memulai muqadimah (pembukaan) kitab beliau dengan khutbatul hajjah?

  1. Maksud dari muqadimah adalah untuk menjelaskan apa yang akan dibahas dalam kitab (buku) dan judul “kitab tauhid” sudah cukup untuk menjelaskan
  2. Dalam rangka beradab kepada Allah. Tauhid adalah hak Allah. Allah lebih layak untuk menjelaskan tauhid.

Tauhid itu sendiri secara bahasa arab berasal dari kata ( وحّد- يوحّد-توحيدا ) yang artinya menjadikan sesuatu itu menjadi satu.

Tidak mungkin menjadikan sesuatu menjadi satu kecuali terpenuhi dua rukun yaitu nafyu (meniadakan selain sesuatu) dan itsbat (menetapkan sesuatu tersebut).

Misalnya: kita katakan,” Zaid sedang duduk di dalam masjid” maka statemen itu hanya itsbat (menetapkan) saja, yang berarti ada kemungkinan bahwa ada orang lain yang duduk di dalam masjid selain Zaid karena kita tidak menafikan (meniadakan) selain Zaid yang duduk di masjid tersebut.

Sedangkan jika kita katakan, “ Tidak ada yang duduk di dalam masjid kecuali Zaid” maka dalam hal ini sudah terpenuhi dua rukun. Yang pertama kita meniadakan bahwa tidak ada seorang yang duduk dalam masjid dan yang kedua kita menetapan bahwa hanya Zaid yang duduk dalam masjid sehingga dari statemen di atas hanya ada satu kemungkinan yaitu yang duduk di masjid hanya Zaid saja, tidak ada yang lain. Oleh karena itu makna kalimat tauhid لا اله لاالله adalah tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, jadi kita meniadakans egala yang disembah selain Allah dan menetapkan bahwa hanya Allah saja yang berhak diibadahi dengan benar, segala yang disembah selain Allah adalah bathil (salah).

Tauhid secara istilah syari’at bermakna mengesakan Allah dalam rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma wa shifat-Nya.

  1. Tauhid rububiyah (Mengesakan Allah dalam rububiyah-Nya) adalah mengesakan Allah dalam perbuatan-Nya. Kita meyakini bahwa hanya Allah saja yang mampu menciptakan alam semesta, mgatur alam semesta, menghidupkan lagi mematikan, memberi rizki kepada para mahluk, yang akan mengadili dengan seadil-adilnya di hari kiamat, dll yang merupakan kekhususan bagi Allah dan hanya Allah yang mampu melakukan hal tersebut.
  2. Tauhid uluhiyah (Mengesakan Allah dalam uluhiyah-Nya) adalah mengesakan Allah dalam ibadah (perbuatan hamba). Ibadah merupakan perbuatan hamba yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. Segala ibadah baik doa, sholat, puasa, zakat, haji, nazar, sembelihan, istighosah, takut, harap, tawakal, dll hanya boleh kita tujukan kepada Allah saja, tidak kepada yang lain. Mengenai makna ibadah akan datang penjelasannya nanti.
  3. Tauhid asma wa shifat (Mengesakan Allah dalam nama-nama dan shifat-Nya) adalah menetapkan nama-nama dan sifat Allah sesuai sebagaimana yang ditetapkan Allah dan rasul-Nya sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya.

Manusia dan jin diciptakan dengan suatu tujuan tertentu sebagaimana dalam ayat berikut:

Firman Allah Subhanahu wata’ala :

]وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون[ِ (الذريات:56)

Artinya:

“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat, 56).

Apa itu ibadah?

Makna ibadah secara bahasa: merendahkan diri dan tunduk patuh

Makna ibadah secara syar’i:

  • Secara umum: merendahkan diri yang perendahan ini didasari kecintaan dan pengagungan yang kita wujudkan dengan melakukan perintah dan menjauhi larangandengan apa-apa yang sesuai dengan syariat.
    Fungsi dari definisi ini adalah: untuk menunjukkan sah tidaknya suatu ibadah
  • Secara khusus: sesuai definisi ibnu taimiyyah yaitu ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir)

Kaedah: Perbuatan apa saja yang merupakan ibadah maka menujukan kepada Allah adalah tauhid dan memalingkan kepada selain Allah adalah syirik akbar

Dalil kaedah ini sangat banyak, diantarnya:

وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًۭٔا

wa’budullaha walaa tusyriku bihi syaiaa

artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. ” (QS. An-Nisaa:36)

Contoh: doa adalah ibadah, maka jika dipalingkan kepada selain Allah maka syirik akbar.

 

Ibadah itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu perkataan dan perbuatan

Ibadah yang merupakan perkataan juga dibagi menjadi dua yaitu ibadah perkataan yang lahir dan yang batin

1. ibadah perkataan yang lahir. contohnya: dzikir, membaca Al Qur’an, berdakwah, dll

2. ibadah perkataan yang batin. contohnya: niat, keyakinan, dll

 

Ibadah yang merupakan perbuatan juga dibagi menjadi dua yaitu ibadah perbuatan yang lahir dan yang batin

1. ibadah perbuatan yang lahir. contohnya: sholat, puasa, zakat, haji, dll

2. ibadah perbuatan yang batin. contohnya: cinta, takut, harap, tawakal, dll

 

Sebagaimana yang telah kita ketahui, kita diciptakan Allah untuk beribadah hanya kepada-Nya dengan cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.

Tauhid merupakan kunci masuk surga dan hendaknya kita senantiasa bersyukur kepada Allah karena Allah telah memberikan kita hidayah iman dan islam yang hal ini merupakan nikmat yang sangat besar dan hendaknya kita selalu menjaganya sebgai wujud syukur kita kepada Allah Ta’ala. Ada beberapa alasan mengapa kita harus senantiasa memuji Allah Ta’ala:

  1. Allah satu-satunya Zat Yang Maha Sempurna, tidak ada aib sedikitpun, Allah sempurna dalam rububiyah, nama-nama dan sifat-Nya.
  2. Begitu banyaknya nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Nikmat terbesar adalah nikmat iman dan cara kita mensyukurinya adalah dengan berusaha agar nikmat Islam dan sunnah tetap ada pada diri kita, tetap istiqomah dalam beragama dan salah satu caranya adalah dengan tetap menuntut ilmu agama.

Dalam masalah akidah (keyakinan) seorang tidak boleh taklid buta melainkan dia harus mengambil keyakinannya bersumber dari Al Qur’an dan Hadits yang shahih meskipun dia tidak menghafalnya.

Kitab tauhid ini menjelaskan mengenai tauhid uluhiyah yaitu mengesakan Allah dalam ibadah, meninggalkan segala bentuk ibadah kepada selain Allah dan berlepas diri dari syirik dan para pelakunya, dan perkara-perkara yang bisa meniadakan tauhid baik  secara keseluruhan maupun sebagian.

Kedudukan tauhid

  1. Tujuan manusia diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya

(وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون (الذريات:56

“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat, 56).

Ayat ini menunjukkan tauhid: Allah menciptakan manusia dengan satu tujuan yaitu hanya beribadah (mentauhidkan) Allah Ta’ala.

Syaikh alu syaikh menjelaskan bahwa: Dalam ayat ini ada unsur pembatasan, huruf maa (ما) nafi disertai huruf illa (الا) maka hal ini menunjukkan pembatasan maka makna ayat ini adalah Aku telah ciptakan jin dan manusia untuk tujuan yang satu yaitu ibadah bukan tujuan lainnya

Syaikh fauzan menjelaskan bahwa: Ayat ini menjelaskan makna tauhid. Yaitu yang dimaksud tauhid adalah ibadah. Dan bukanlah tauhid yang dituntut Allah hanya sekedar menetapkan Allah dalam rububiyyah. Makna yang diinginkan Allah dalam ayat-ayatnya adalah tauhid ibadah.

Makna tauhid: mengikhlaskan/memurnikah ibadah hanya kepada Allah Ta’ala.

  1. Hikmah diutusnya para Rasul

Para Rasul diutus untuk menjelaskan tauhid.

(وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوت(النحل: من الآية:36

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (untuk menyerukan) “Beribadalah kepada Allah (saja) dan jauhilah thoghut([1]).” (QS. An Nahl, 36).

Ibnu abbas berkata: manusia selama 10 qurun waktu hidup di atas tauhid. Pada masa itu Allah tidak mengutus seorang rasul pun,yang ada adalah nabi, baru diutus rasul ketika terjadi pelanggaran tauhid uluhiyyah yaitu zaman nabi Nuh ‘alaihissalam. Tidaklah terjadi penyimpangan dari suatu kaum melainkan akan Allah utus bagi kaum tersebut rasul.

  1. Tauhid adalah hal pertama yang Allah perintahkan dalam kewajiban-kewajiban.

]وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا[

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan, dan ucapkanlah : “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”(QS. Al Isra’, 23-24).

]قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ وَلاَ تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ[

“Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tuamu, dan janganlah kamu membunuh anak anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan perbuatan yang keji, baik yang nampak diantaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’am, 151-153).

Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu berkata : “Barang siapa yang ingin melihat wasiat Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam yang tertera di atasnya  cincin stempel milik beliau, maka supaya membaca firman Allah Subhanahu wata’ala : “Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu “Janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya, dan “Sungguh inilah jalan-Ku berada dalam keadaan lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan yang lain.([2])

  1. Tauhid hak Allah atas seorang hamba.

Mu’adz bin Jabal Radhiallahu’anhu berkata :

كنت رديف النبي  على حمار، فقال لي :” يا معاذ، أتدري ما حق الله على العباد، وما حق العباد على الله ؟ قلت : الله ورسوله أعلم، قال : حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئا، وحق العباد على الله أن لا يعذب من لا يشرك به شيئا، قلت : يا رسول الله، أفلا أبشر الناس ؟ قال : ” لا تبشرهم فيتكلوا “.

“Aku pernah diboncengkan Nabi Shallallahu’alaihi wasallam di atas keledai, kemudian beliau berkata kepadaku : “ wahai muadz, tahukah kamu apakah hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hambaNya, dan apa hak hamba-hambaNya yang pasti dipenuhi oleh Allah?, Aku menjawab : “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui”, kemudian beliau bersabda : “Hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hambaNya ialah hendaknya mereka beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah ialah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang orang yang tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, lalu aku bertanya : ya Rasulullah, bolehkah aku menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang?, beliau menjawab : “Jangan engkau lakukan itu, karena Khawatir mereka nanti bersikap pasrah”([3]) (HR. Bukhari, Muslim).

 

    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini :

  1. Hikmah diciptakannya jin dan manusia oleh Allah Ta’ala.
  2. Ibadah adalah hakekat (tauhid), sebab pertentangan yang terjadi antara Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dengan kaumnya adalah dalam masalah tauhid ini.
  3. Barang siapa yang belum merealisasikan tauhid ini dalam hidupnya, maka ia belum beribadah (menghamba) kepada  Allah Tabaroka wata’ala inilah sebenarnya makna firman Allah :

]ولا أنتم عابدون ما أعب[

“Dan sekali-kali kamu sekalian bukanlah penyembah (Tuhan) yang aku sembah” (QS. Al Kafirun, 3)

  1. Hikmah diutusnya para Rasul [adalah untuk menyeru kepada tauhid, dan melarang kemusyrikan].
  2. Misi diutusnya para Rasul itu untuk seluruh umat.
  3. Ajaran para Nabi adalah satu, yaitu tauhid [mengesakan Allah Subhanahu wata’ala saja].
  4. Masalah yang sangat penting adalah : bahwa ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala tidak akan terealisasi dengan benar kecuali dengan adanya pengingkaran terhadap thoghut.

Dan inilah maksud dari firman Allah Subhanahu wata’ala :

]فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى[

“Barang siapa yang mengingkari thoghut dan beriman kepada Allah, maka ia benar benar telah berpegang teguh kepada tali yang paling kuat” (QS. Al Baqarah, 256).

  1. Pengertian thoghut bersifat umum, mencakup semua yang diagungkan selain Allah.
  2. Ketiga ayat muhkamat yang terdapat dalam surat Al An’am menurut para ulama salaf penting kedudukannya, didalamnya ada 10 pelajaran penting, yang pertama adalah larangan berbuat kemusyrikan.
  3. Ayat-ayat muhkamat yang terdapat dalam surat Al Isra’ mengandung 18 masalah, dimulai dengan firman Allah :

]لا تجعل مع الله إلها آخر فتقعد مذموما مخذولا[

“Janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, agar kamu tidak menjadi terhina lagi tercela” (QS. Al Isra’, 22).

Dan diakhiri dengan firmanNya :

]ولا تجعل مع الله إلها آخر فتلقى في جهنم ملوما مدحورا[

“Dan janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, sehingga kamu (nantinya) dicampakkan kedalam neraka jahannam dalam keadaan tercela, dijauhkan (dari rahmat Allah)” (QS. Al Isra’, 39).

 

Dan Allah mengingatkan kita pula tentang pentingnya masalah ini, dengan firmanNya:

]ذلك مما أوحى إليك ربك من الحكمة[

“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu” (QS. Al Isra’, 39).

  1. Satu ayat yang terdapat dalam surat An Nisa’, disebutkan didalamnya 10 hak, yang pertama Allah memulainya dengan firmanNya:

] واعبدوا الله ولا تشركوا به شيئا [

“Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah (saja), dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu pun.” (QS. An Nisa’, 36).

  1. Perlu diingat wasiat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam di saat akhir hayat beliau.
  2. Mengetahui hak-hak Allah yang wajib kita laksanakan.
  3. Mengetahui hak-hak hamba yang pasti akan dipenuhi oleh Allah apabila mereka melaksanakannya.
  4. Masalah ini tidak diketahui oleh sebagian besar para sahabat([4]).
  5. Boleh merahasiakan ilmu pengetahuan untuk maslahah.
  6. Dianjurkan untuk menyampaikan berita yang menggembirakan kepada sesama muslim.
  7. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam merasa khawatir terhadap sikap menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah.
  8. Jawaban orang yang ditanya, sedangkan dia tidak mengetahui adalah : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.
  9. Diperbolehkan memberikan ilmu kepada orang tertentu saja, tanpa yang lain.
  10. Kerendahan hati Rasulullah, sehingga beliau hanya naik keledai, serta mau memboncengkan salah seorang dari sahabatnya.
  11. Boleh memboncengkan seseorang diatas binatang, jika memang binatang itu kuat.
  12. Keutamaan Muadz bin Jabal..

([1])   Thoghut ialah : setiap yang diagungkan selain Allah dengan disembah, ditaati, atau dipatuhi, baik yang diagungkan itu berupa batu, manusia ataupun setan. Menjauhi thoghut berarti mengingkarinya, tidak menyembah dan memujanya, dalam bentuk dan cara apapun.

([2])   Atsar ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Abi Hatim.

([3])  Tidak diketahui oleh sebagian besar para sahabat, karena Rasulullah menyuruh Muadz agar tidak memberitahukannya kepada meraka, dengan alasan beliau khawatir kalau mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah. Sehingga tidak mau berlomba lomba dalam mengerjakan amal sholeh. Maka Mu’adz pun tidak memberitahukan masalah tersebut, kecuali di akhir hayatnya dengan rasa berdosa. Oleh sebab itu, di masa hidup Mu’adz masalah ini tidak diketahui oleh kebanyakan sahabat.

Pengantar Kitab Tauhid

PENGANTAR

الحمد لله الذي جعل التوحيد قاعدة الإسلام وأصله ورأسه، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، وصلى الله وسلم عليه وعلى آله وصحبه ومن اهتدى بهديه. أما بعد :

Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal yang dilakukan. Hanya amal yang dilandasi dengan tauhidullah, menurut tuntunan Islam, yang akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki di alam akhirat nanti.

Allah Ta’ala berfirman :

]مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُون[ (النحل:97)

“Barang siapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik lagi dari apa yang telah mereka kerjakan.” ( QS. An Nahl, 97 )

Berdasarkan pada pentingnya peranan tauhid dalam kehidupan manusia, maka wajib bagi setiap muslim mempelajarinya.Tauhid bukan sekedar mengenal dan mengerti bahwa pencipta alam semesta ini adalah Allah, bukan sekedar mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud (keberadaan) Nya, dan wahdaniyah (keesaan) Nya, dan bukan pula sekedar mengenal Asma’ dan SifatNya.

Iblis mempercayai bahwa Tuhannya adalah Allah, bahkan mengakui keesaan dan kemahakuasaan Allah dengan meminta kepada Allah melalui Asma’ dan SifatNya. Kaum jahiliyah kuno yang dihadapi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam juga meyakini bahwa Tuhan Pencipta, Pengatur, Pemelihara dan Penguasa alam semesta ini adalah Allah. ( Lihat Al Qur’an 38 : 82, 31 : 25, 23 : 84-89 ). Namun, kepercayaan dan keyakinan mereka itu belumlah menjadikan mereka sebagai makhluk yang berpredikat muslim, yang beriman kepada Allah Ta’ala.

Dari sini timbullah pertanyaan : “Apakah hakekat tauhid itu ?”

Tauhid adalah pemurnian ibadah kepada Allah. Maksudnya yaitu : menghambakan diri hanya kepada Allah secara murni dan konsekuen dengan mentaati segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya, dengan penuh rasa rendah diri, cinta, harap dan takut kepadaNya.

Untuk inilah sebenarnya manusia diciptakan Allah, dan sesungguhnya misi para Rasul adalah untuk menegakkan tauhid dalam pengertian tersebut di atas, mulai dari Rasul pertama sampai Rasul terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW. ( Lihat Al Qur’an 16 : 36, 21 : 25, 7 : 59, 65,73,85, dan lain-lain )

Maka buku dihadapan pembaca ini mempunyai arti penting dan berharga sekali untuk mengetahui hakekat tauhid dan kemudian menjadikannya sebagai pegangan hidup.

Buku ini ditulis oleh seorang ulama yang giat dan tekun dalam kegiatan da’wah Islamiyah. Beliau adalah syekh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi, yang dilahirkan di Uyainah, tahun 1115 H (1703 M), dan meninggal di Dir’iyyah  (Saudi Arabia) tahun 1206 H (1792 M).

Keadaan umat Islam, dengan berbagai bentuk amalan dan kepercayaan pada masa hidupnya, yang menyimpang dari makna tauhid, telah mendorong syekh Muhammad bersama para muridnya untuk melancarkan da’wah Islamiyah guna mengingatkan umat agar kembali kepada tauhid yang murni.